Salah seorang murid Guru Khalid Gondangdia adalah Guru Mujib bin Sa`abah dari Warung Ayu, Tenabang (Tanah Abang). Tidak banyak informasi yang diterima karena anak-anaknya sudah meninggal dunia (Muhammad, Misbah dan Sirojul Huda) dan ahli waris yang ada susah dilacak. Ia lahir tahun 1870 dan se-zaman dengan Habib Ali Kwitang.
Berbeda dengan ulama Betawi lainnya, setelah mengaji di tanah air, ia tidak meneruskan ngajinya ke Makkah. Ia memilih untuk mengaji ke India. Sepulangnya ke tanah air, ia membuka pengajian dengan mengajarkan fiqih, tauhid, akhlak, dan membacakan maulid. Namun tidak sebatas membacakan maulid, ia juga menyusun kitab maulid rawi bahasa Indonesia yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu berjudul Bacaan Maulid Nabi Muhammad saw. dalam Bahasa Indonesia. Kitab ini adalah terobosan bagi umat Islam di Betawi maupun di Indonesia karena sejak tahun 1940 sampai sekarang yang rawi ini dibacakan dan memiliki grup rawinya sendiri yang lengkap dengan alat perkusinya, khususnya yang tergabung di Ikatan Seni Betawi Tenabang (ISBAT). Bahkan, pukulan rebananya memang khas pukulan Tenabang. Kelebihan maulid rawi bahasa Indonesia ini adalah orang awam yang tidak memahami bahasa Arab dapat menikmati dan menghayati pembacaan rawi Maulid Nabi saw. karena dapat dipahami, berbeda dengan rawi Barzanji dan Ad-Diba.
Guru Mujib bukan hanya mengarang kitab maulid rawi bahasa Indonesia saja, ada beberapa kitab lainnya di bidang fiqih dan akhlak. Guru Mujib juga dikenal kepahlawanannya. Pada agresi Belanda II yang mendompleng dengan sekutu, tentara Gurka menembakan meriamnya dari Pekuburan Karet Bivak ke arah Tenabang. Orang-orang lari berlindung ke musholla Guru Mujib. Konon, ketika orang-orang berlindung di mushollanya, Guru Mujib dengan segenap karomah yang diberikan oleh Allah swt. keluar rumah untuk menghalau peluru meriam dengan sabetan sorbannya. Kisah ini begitu membekas di hati orang-orang Tenabang dan kemudian dikisahkan turun-temurun sampai sekarang
Guru Mujib wafat pada tahun 50-an dan imakamkan di salah satu tempat di sekitar Perkuburan Karet Bivak. Namun orang tidak bisa menemukan kembali kuburannya karena telah ditimbun oleh apartemen yang berdiri di atas makamnya, sesuatu yang merupakan bukti dari wasiat dari Guru Mujib ketika masih hidup dan bukti kewaliannya agar kelak kuburannya tidak diziarahi orang kemudian disakralkan dan dijadikan orang untuk ngalap berkah, jika ingin mengirimkan do`a untuknya cukup di tempatnya masing-masing. ***
(Rakhmad Zailani Kiki, sumber: Genealogi Intelektual Ulama Betawi, Jakarta Islamic Centre, 2011)