Bismillahirrahmanirrahim
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam rapatnya pada tanggal 7 Dzulqa’dah 1421 H, bertepatan dengan tanggal 1 Pebruari 2001 M, yang membahas tentang Hukum Suntik Bagi Orang yang Berpuasa[1], setelah :
Menimbang:
- Bahwa ibadah puasa di bulan Ramadhan merupakan rukun Islam ketiga yang wajib dilaksanakan oleh orang-orang beriman yang sudah akil baligh.Untuk itu, umat Islam yang telah akil baligh berkewajiban melaksanakan ibadah puasa.
- Bahwa terkadang orang yang sedang berpuasa menderita suatu penyakit yang harus segera diobati dengan memberikan suntikan.
- Bahwa untuk memberikan kepastian hukum tentang batal atau tidaknya puasa seseorang yang disuntik, MUI Provinsi DKI Jakarta memandang perlu untuk segera mengeluarkan Fatwa tentang Hukum Suntik Bagi Orang yang Berpuasa.
Mengingat:
- Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia (PD/PRT MUI)
- Pokok-Pokok Program Kerja MUI Provinsi DKI Jakarta Tahun 2000 – 2005
- Pedoman Penetapan Fatwa MUI
Memperhatikan:
Saran dan pendapat para ulama peserta rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 5 Dzulqa’dah 1421 H, bertepatan dengan tanggal 1 Pebruari 2001 M, yang membahas tentang Hukum Suntik Bagi Orang yang Berpuasa.
Memutuskan:
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT dan memohon ridha-Nya memfatwakan sebagai berikut:
- Jika orang yang sedang berpuasa di bulan suci Ramadhan menderita suatu penyakit yang memerlukan pengobatan, –termasuk dengan suntikan–, maka yang bersangkutan harus berobat dan diperbolehkan Hal inididasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 183-184 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (١٨٣)أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٤)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagai mana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberimakan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya.Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah, 2: 183-184)
- Para ulama berbeda pendapat tentang suntikan bagi orang yang berpuasa, apakah membatalkan puasa atau
- Menurut para ulama salaf, suntikan dengan memasukkan obat ke dalam tubuh melalui pori-pori di bawah kulit atau melalui pembuluh darah adalah membatalkan Karena pada hakekatnya, suntikan adalah memasukkan suatu benda ke dalam tubuh, meskipun tidak melalui lubang badan yang lazim (umum). Hal ini dapat dibaca dalam berbagai kitab fiqh salaf seperti kitab “Al-Muhadzzab Fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’I”, sebagaiberikut:[2]
“Jika orang yang berpuasa melakukan suntikan, maka batallah puasanya. Karena jika puasa seseorang menjadi batal disebabkan oleh sesuatu yang masuk kedalam otaknya melalui lubang hidung, maka tentu sesuatu yang masuk kedalam tubuh melalui suntikan lebih membatalkan puasanya”.
- Menurut para ulama modern seperti Sayyid Sabiq dan Syeikh Ibrahin Abu Yusuf, suntikan tidak membatalkan puasa, karena suntikan dilakukan dengan memasukkan obat melalui lubang tubuh yang tidak lazim, meskipun obat tersebut dapat merasuk ke dalam tubuh. Sebagaimana disebutkan dalam kitab “Fiqh as-Sunnah”, sebagai berikut :[3]
“Di antara sesuatu yang boleh dilakukan dalam berpuasa adalah suntikan secara mutlak, baik dengan tujuan untuk memasukkan makanan atau tujuan lain, dan baik dilakukan di otot atau di bawah kulit, karena meskipun sesuatu yang dimasukkan melalui suntikan tersebut masuk kedalam tubuh, tetapi hal itu dilakukan melalui lubang yang tidak lazim”.
Demikian juga dalam kitab “Al-Ijabahasy-Syar’iyyah Fi Masailasy-Syari’ah” karya Syeikh Ibrahim Abu Yusuf, sebagai berikut :
“Diperbolehkan menancapkan jarum (suntik) di bawah kulit atau pada pembuluh darah (urat), meskipun dengan tujuan untuk memasukkan makanan, karena hal itu dilakukan bukan melalui lubang badan yang diperhitungkan oleh syara’ (mulut, hidung dan telinga).Sungguh pun demikian, sebaiknya hal itu dilakukan sesudah berbuka puasa”.
- Komisi Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta lebih cenderung kepada pendapat para ulama klasik yang menyatakan bahwa suntikan membatalkan Hal ini didasarkan pada pertimbangan berhati-hati dalam beribadah kepada Allah SWT. Di samping itu juga atas dasar pertimbangan substansial; di mana substansinya, obat-obatan yang disuntikkan atau sari makanan dan minuman yang dimasukkan melalui mulut, yaitu sama-sama masuk ke dalam tubuh dan sama-sama dapat mempengaruhi fisik atau psychis orang yang bersangkutan. Perbedaannya hanya terletak pada cara memasukkannya.
Jakarta, 7 Dzulqa’dah 1421H.
1 Pebruari 2001 M.
KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA DKI JAKARTA
|
|
Ketua,
ttd Prof. KH. Irfan Zidny, MA |
Sekretaris,
ttd KH. Drs. M. Hamdan Rasyid, MA |
Mengetahui, | |
Ketua Umum,
ttd KH. Achmad Mursyidi |
Sekretaris Umum,
ttd Drs. H. Moh. Zainuddin |
[1]Fatwa ini merupakan penyempurnaan atas Surat MUI DKI Jakarta kepada Kepala BKKBN DKI Jakarta tanggal 24 Sya’ban 1406 H bertepatan dengan tanggal 26 Mei 1986 M yang ditandatangani oleh KH. Achmad Mursyidi dan H. Gazali Syahlan, surat terlampir.
[2]Al-Fairuzzabadi, Al-Muhadzzab Fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’I, juz ke-1, hal. 182.