Oleh KH. Yusuf Aman
Sekretaris Umum MUI DKI Jakarta
Dalam bernegara, demokrasi sejatinya adalah pemerintahan rakyat; sistem pemerintahan dimana penguasa harus mempertanggungjawabkannya kepada rakyat atas kebijakan-kebijakannya itu. Kalau itu yang kita rujuk dan implementasikan, maka insya Allah, nilai-nilai Islam sudah mengakomodirnya, sudah merangkumnya, sudah masuk di dalam praktek demokrasi. Jadi Islam itu begitu luwes dan luas. Karena sesungguhnya, Islam itu seiring seirama dengan negara, berbarengan dan tidak bisa dipisahkan.
Dalam perspektif Islam, kekuasaan adalah amanah Allah SWT yang kelak akan diminta pertanggunganjawaban. Sebagaimana sabda Nabi SAW: “Setiap kamu adalah pemimpin dan tiap pemimpin akan ditanya tentang kepemimpinannya.” Karena itulah, misalnya, suami juga pemimpin dalam suatu rumah tangga yang kelak akan dimintaipertanggungjawaban. Seorang ibu juga pemimpin dan kelak ia dimintaipertanggungjawaban ihwal bagaimana ia mengelola rumah tangganya. Seorang anak juga pemimpin. Ketua RW pemimpin. Ketua masjid pemimpin. Dan seterusnya. Semuanya akan dimintaipertanggunganjawaban.
Lalu, bagaimana relasinya dengan penekanan bahwa demokrasi yang terjadi saat ini senantiasa menganggap suara terbanyak yang benar? Artinya bisa saja yang memimpin dan terpilih adalah seorang penyamun di tengah mayoritas suara yang ada. Menurut hemat kami, tolak ukur kebenaran itu bukan dilihat dari kuantitas orang, melainkan sejauhmana kita bisa merefleksikan itu di dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan suatu pedoman yang kita yakini. Dalam hal ini, kita sebagai umat Islam misalnya meyakini Alquran dan Hadis. Bahkan ijmak dan qias. Kita hidup di negara demokrasi yang kelak juga akan dimintaipertanggungjawaban oleh Allah SWT.
Untuk itulah, seorang yang mendapatkan amanah memimpin itu harus mempunyai kemampuan dan berintegritas, yaitu bersikap jujur, adil dan arif di dalam memimpin. Setelah ia menjadi pemimpin dan dipercaya, ia bukan lagi menjadi pemimpin partai atau golongan tertentu saja. Dalam konteks presiden, maka ia mesti menjadi pemimpin rakyat Indonesia. Dia harus meninggalkan atribut-atribut partainya. Ia harus mengakomodir semua kepentingan rakyat dan masyarakat Indonesia. Begitu pula contohnya bila kita terpilih menjadi wakil rakyat di DPD, DPRD dan DPR. Harus meninggalkan atribut partainya, membuang kepentingan partainya saja.
Pasalnya, kalau kita melihat sistem kerakyatan di Indonesia ini, wakil-wakil rakyat itulah representasi wakil-wakil rakyat di seluruh Indonesia. Mereka tidak boleh sekadar berpandai-pandai kata, tapi juga harus pandai mewujudkannya. Kalau tidak, Allah akan murka, marah besar pada orang yang pandai berjanji tapi tidak pandai merealisasikannya. Setidaknya siapa pun pemimpin itu dalam kontek Islam dia paling tidak mesti mengarah kepada empat sifat Rasul.
Pertama, dia mesti bersifat tabligh, menyampaikan apa yang perlu disampaikan, yakni menyampaikan hal-hal positif yang tidak membawa kemudaratan. Kedua, dia harus shiddiq (jujur), yakni jujur dalam perkataan, kebijakan, dan jujur dalam produk-produk yang dihasilkannya. Ketiga, ia juga harus amanah (terpercaya). Lalu yang keempat dia harus fathanah, yaitu ia harus cerdas di dalam menyuarakan aspirasi umat. Apa pun sistemnya kalau itu merupakan kesepakatan dari rakyat Indonesia, maka itulah cara-cara Islam, cara-cara yang memang merujuk pada Alquran dan Hadis. Walaupun kita bukan negara Islam, saya kira lebih baik kita memasyarakatkan Islam, artinya masyarakat Islam yang mengamalkan nilai-nilai ke-Islamannya. Allah berfirman: “Masuklah kamu wahai orang Islam ke dalam Islam secara totalitas, secara menyeluruh.” (QS. Al-Baqarah: 208). Islam kita bukan hanya di masjid saja tapi Islam yang mesti kita bawa ke tengah-tengah pergaulan masyarakat. Kita adakan perbaikan dan perubahan. Kita adakan kemaslahatan. Makanya, kita berharap tidak ada perpecahan di tengah-tengah umat dalam berdemokrasi di negeri ini. Apalagi masyarakat Indonesia itu sangat majemuk yang kehidupannya terbiasa saling menghormati. Wallahu’alam bilshawab. (ed: mz/foto ilustrasi: pixabay)